Ronald Tannur Layak Dihukum lebih Berat!
30 Oktober 2024 16:11 WIB
Yudi Samadi
Photo: Dok.Sonora/Febrina Tiara
Jakarta, sonora.co.id, Operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan oleh para penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kepada 3 oknum hakim
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menggegerkan publik. Ketiganya diduga menerima
gratifikasi dari Pengacara Lisa Rahmat, yang selama ini menjadi kuasa hukum terpidana
Ronald Tannur yang terlibat tindakan penganiayaan berujung kematian kekasihnya
Dini sera tahun lalu. Ketiga hakim yang terdiri dari Erintuah Damanik, Mangapul
dan Heru Hanindiyo tersebut diduga menerima suap 20 milyar rupiah oleh Lisa Rahmat
sebagai imbalan telah memutus bebas Ronald Tannur. Meskipun putusan bebas dari PN
Surabaya tersebut sudah dianulir oleh Mahkamah Agung, karena Jaksa kemudian mengajukan
banding ke tingkat kasasi dan MA, namun fakta ini menyisakan tanda tanya besar publik
akan integritas dan sikap professional para penegak hukum. Mahkamah Agung dalam
keputusan terbarunya sudah mengeluarkan vonis hukuman 5 tahun penjara bagi
Ronald Tannur, masih jauh dari tuntutan awal Jaksa, 12 tahun penjara.
Pakar Hukum dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, Herry Firmansyah, dalam wawancara di Radio Sonora FM 92 Jakarta (29/10) sore, mengatakan apabila Jaksa merasa belum puas atau putusan MA tersebut dinilai kurang tepat maka jaksa bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK), meskipun hal itu masih dalam kontroversi. “Dalam konteks melakukan tindak pidana baru (tunggu konfirmasi dari penyidikan kejaksaan terhadap status dan peran keterlibatan Ronal Tannur dalam tindakan penyuapan tersebut, maka Ronal Tannur dapat memperoleh sangsi yang lebih berat dari yang sudah diputuskan” Jelas Herry. Karena penyuapan yang dilakukan oleh kuasa hukum Ronald Tannur, Lisa Rahmat, mustahil dilakukan tanpa ada perintah dari orang lain yang punya kepentingan dengan kasus hukum yang menimpanya. “Harus dicari juga korelasi, dan apa perannya, tidak hanya Ronald Tannur sendiri tapi bisa dikembangkan juga ke pihak-pihak yang mungkin mendanai suap (bohir). Merekah juga harus ikut dijerat kasus ini” Tegas Herry.
Saat ditanya berapa lama hukuman yang layak dijatuhkan untuk sosok Ronald Tannur, Herry menjelaskan bahwa jaksa masih bisa mengajukan banding atau peluang PK, karena putusan bebas yang menjadi 5 tahun oleh MA masih jauh dari tuntutan awal jaksa, 12 tahun. “Hukuman yang lebih berat pantas untuk diberikan kepada Ronald Tannur, melihat tindakan yang bersangkutan tanpa rasa belas kasihan, tidak perikemanusaiaan, bisa dilihat cuplikan CCTV kekejaman sampai membawa korban ke apartemen yang berujung maut, sudah ada saksi yang meberikan keterangan didukung pula oleh hasil visum et repertum” Ujar Herry. Walaupun yang bersangkutan tidak dikenakan pasal pembunuhan (yang hukumannya lebih maksimal) bukan penganiayaan, masyarakat yang tidak menormalisasi perilaku tersebut sudah pasti setuju agar Ronald Tannur bisa dihukum lebih berat agar menjadi contoh penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan.
Antusiasme masyarakat yang ikut mengawal kasus ini menjadi hal yang menarik untuk dicermati. Masyarakat kini bisa memanfaatkan berbagai platform untuk mengawal sebuah kasus agar para penegak hukum dapat menjaga integritasnya saat bekerja, termasuk saat mengangani kasus Ronal Tannur ini. “sikap kritis masyarakat penting agar tidak ada celah bagi para penegak hukum untuk menyimpang dan tetap profesional saat bertugas. Publik sudah jengah dipertontonkan kinerja oknum aparat yang mudah disuap, memainkan perkara bahkan sampai memutuskan sebuah vonis” Tandas Herry. Apa yang dilakukan publik tersebut bukanlah bermaksud untuk melakukan intervensi karena juga bukan kewenangannya. Herry mengajak masyarakat tidak boleh bediam diri melihat ketidakadilan, agar tidak semakin banyak aturan yang dilanggar. Meski dirinya kurang setuju dengan fenomena “No viral no justice”, namun ungkapan itu bisa menjadi pegangan masyaraat saat dipertunjukkan perilaku oknum penegak hukum yang sewenang-wenang. “Hal ini penting agar keadilan tidak hanya berpihak pada mereka yang mampu membayar lebih” tegas Herry menutup sesi wawancara. (YDS)
Pakar Hukum dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, Herry Firmansyah, dalam wawancara di Radio Sonora FM 92 Jakarta (29/10) sore, mengatakan apabila Jaksa merasa belum puas atau putusan MA tersebut dinilai kurang tepat maka jaksa bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK), meskipun hal itu masih dalam kontroversi. “Dalam konteks melakukan tindak pidana baru (tunggu konfirmasi dari penyidikan kejaksaan terhadap status dan peran keterlibatan Ronal Tannur dalam tindakan penyuapan tersebut, maka Ronal Tannur dapat memperoleh sangsi yang lebih berat dari yang sudah diputuskan” Jelas Herry. Karena penyuapan yang dilakukan oleh kuasa hukum Ronald Tannur, Lisa Rahmat, mustahil dilakukan tanpa ada perintah dari orang lain yang punya kepentingan dengan kasus hukum yang menimpanya. “Harus dicari juga korelasi, dan apa perannya, tidak hanya Ronald Tannur sendiri tapi bisa dikembangkan juga ke pihak-pihak yang mungkin mendanai suap (bohir). Merekah juga harus ikut dijerat kasus ini” Tegas Herry.
Saat ditanya berapa lama hukuman yang layak dijatuhkan untuk sosok Ronald Tannur, Herry menjelaskan bahwa jaksa masih bisa mengajukan banding atau peluang PK, karena putusan bebas yang menjadi 5 tahun oleh MA masih jauh dari tuntutan awal jaksa, 12 tahun. “Hukuman yang lebih berat pantas untuk diberikan kepada Ronald Tannur, melihat tindakan yang bersangkutan tanpa rasa belas kasihan, tidak perikemanusaiaan, bisa dilihat cuplikan CCTV kekejaman sampai membawa korban ke apartemen yang berujung maut, sudah ada saksi yang meberikan keterangan didukung pula oleh hasil visum et repertum” Ujar Herry. Walaupun yang bersangkutan tidak dikenakan pasal pembunuhan (yang hukumannya lebih maksimal) bukan penganiayaan, masyarakat yang tidak menormalisasi perilaku tersebut sudah pasti setuju agar Ronald Tannur bisa dihukum lebih berat agar menjadi contoh penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan.
Antusiasme masyarakat yang ikut mengawal kasus ini menjadi hal yang menarik untuk dicermati. Masyarakat kini bisa memanfaatkan berbagai platform untuk mengawal sebuah kasus agar para penegak hukum dapat menjaga integritasnya saat bekerja, termasuk saat mengangani kasus Ronal Tannur ini. “sikap kritis masyarakat penting agar tidak ada celah bagi para penegak hukum untuk menyimpang dan tetap profesional saat bertugas. Publik sudah jengah dipertontonkan kinerja oknum aparat yang mudah disuap, memainkan perkara bahkan sampai memutuskan sebuah vonis” Tandas Herry. Apa yang dilakukan publik tersebut bukanlah bermaksud untuk melakukan intervensi karena juga bukan kewenangannya. Herry mengajak masyarakat tidak boleh bediam diri melihat ketidakadilan, agar tidak semakin banyak aturan yang dilanggar. Meski dirinya kurang setuju dengan fenomena “No viral no justice”, namun ungkapan itu bisa menjadi pegangan masyaraat saat dipertunjukkan perilaku oknum penegak hukum yang sewenang-wenang. “Hal ini penting agar keadilan tidak hanya berpihak pada mereka yang mampu membayar lebih” tegas Herry menutup sesi wawancara. (YDS)
News
View MoreOur Services
Sonora Education And Talent Management
Empowering Talent Development & Soft Skills Training.
Research Solution
Your Research Solution for Comprehensive Coverage, Reliable Sources, and Diverse Perspectives