Suap Vonis Lepas Ekspor CPO. ICW: Perlu Reformasi Sistemik
23 April 2025 13:55 WIB
Melysa Septiani
.jpg)
Photo: Peneliti ICW Almas Sjafrina (dok. tribunnews.com)
Jakarta, SONORA.co.id - Suap Vonis Lepas atau Ontslag pada kasus korupsi izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) kepada Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali merusak citra keadilan di benak masyarakat. Bermula dari para pejabat perusahaan besar yang berniat meloloskan diri dari jerat hukum, serta oknum pengacara dan hakim pengadilan yang hendak membantu mencari jalan keluar dari kasus tersebut. Kini, seluruh oknum terlibat, mesti menghadapi hukuman yang lebih berat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, meski kasus suap di kalangan penegak hukum sering terjadi, kasus ini merupakan yang terbesar karena melibatkan korporasi besar.
“Kasus suap hakim ini kan bukan baru terjadi hari-hari ini saja. Tapi kalau berdasarkan catatan ICW, terkait dengan penegakan hukum yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak 2011 juga sudah ada kasus,” jelas Almas kepada Radio Sonora, Rabu (23/4).
“Jadi sebetulnya, momentum untuk melakukan evaluasi itu selalu ada. Tetapi yang membuat kasus ini cukup berbeda, dan seharusnya tidak dilewatkan, adalah, ini merupakan kasus besar, dan pihak yang memberikan suap, atau yang terkait dengan penegakan hukum itu juga melibatkan, tidak hanya tersangka individu, tetapi 3 korporasi besar,” tambahnya.
Almas menjelaskan, pemberian sanksi saja tidak cukup untuk mencegah suap. Selain hukum, perlu adanya reformasi sistemik pada langkah pencegahan dan pengawasan.
“Sebetulnya yang dibutuhkan agar tidak berulang itu ‘kan tidak hanya penegakan hukum yang ada di ujungnya. Tetapi, bagaimana sistem pencegahan itu dibangun, sehingga memang ruang mafia peradilan bermain itu semakin sempit,” jelasnya.
“Satu, meminimalisir ruang pertemuan. Kedua, untuk hakim-hakim penegak hukum, perlu dilakukan diagnosa awal. Ini kan melibatkan perusahaan besar, rentan sekali disusupi mafia-mafia peradilan, maka pada kasus tersebut perlu pengawasan khusus,” tutur Almas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, meski kasus suap di kalangan penegak hukum sering terjadi, kasus ini merupakan yang terbesar karena melibatkan korporasi besar.
“Kasus suap hakim ini kan bukan baru terjadi hari-hari ini saja. Tapi kalau berdasarkan catatan ICW, terkait dengan penegakan hukum yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak 2011 juga sudah ada kasus,” jelas Almas kepada Radio Sonora, Rabu (23/4).
“Jadi sebetulnya, momentum untuk melakukan evaluasi itu selalu ada. Tetapi yang membuat kasus ini cukup berbeda, dan seharusnya tidak dilewatkan, adalah, ini merupakan kasus besar, dan pihak yang memberikan suap, atau yang terkait dengan penegakan hukum itu juga melibatkan, tidak hanya tersangka individu, tetapi 3 korporasi besar,” tambahnya.
Almas menjelaskan, pemberian sanksi saja tidak cukup untuk mencegah suap. Selain hukum, perlu adanya reformasi sistemik pada langkah pencegahan dan pengawasan.
“Sebetulnya yang dibutuhkan agar tidak berulang itu ‘kan tidak hanya penegakan hukum yang ada di ujungnya. Tetapi, bagaimana sistem pencegahan itu dibangun, sehingga memang ruang mafia peradilan bermain itu semakin sempit,” jelasnya.
“Satu, meminimalisir ruang pertemuan. Kedua, untuk hakim-hakim penegak hukum, perlu dilakukan diagnosa awal. Ini kan melibatkan perusahaan besar, rentan sekali disusupi mafia-mafia peradilan, maka pada kasus tersebut perlu pengawasan khusus,” tutur Almas.
News
View MoreOur Services

Sonora Education And Talent Management
Empowering Talent Development & Soft Skills Training.

Research Solution
Your Research Solution for Comprehensive Coverage, Reliable Sources, and Diverse Perspectives